Selasa, 06 November 2012

Hukum Penggunaan Organ Tubuh Plasenta untuk Kosmetika


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Kosmetika hampir tidak bisa dipisahkan dari kaum wanita. Tawaran untuk membuat diri menjadi cantik dan menarik merupakan janji yang selalu ditawarkan oleh produsen kosmetika. Kulit putih mulus, rambut hitam lurus panjang berkilau, badan langsing dan awet muda adalah gambaran ideal seorang wanita yang dibentuk di media massa.
Permasalahan yang sering dihadapai oleh konsumen adalah ketidakcocokan terhadap bahan kosmetika yang digunakannya. Ketidakcocokan ini dapat diakibatkan oleh faktor alergi atau karena adanya penggunaan bahan-bahan berbahaya. Belum lama ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan hasil temuan penggunaan bahan-bahan berbahaya dalam kosmetika yang diantaranya mencakup penggunaan bahan merkuri, hidrokuinon, zat pewarna rhodamin B dan merah K3. Efek dari penggunaan bahan-bahan tersebut sanagt bervariasi dari yang hanya memberikan efek iritasi ringan hingga meyebabkan kerusakan organ-organ tubuh tertentu.
Perhatian dan kesadaran masyarakat tentang adanya penggunaan bahan-bahan berbahaya dalam kosmetika semakin meningkat. Lalu bagaimana dengan kesadaran konsumen tentang adanya penggunaan bahan-bahan haram dan najis dalam kosmetika? Berbeda dengan kesadaran konsumen terhadap kehalalan makanan, kesadaran konsumen tentang pentingnya kehalalan kosmetika masih terhitung rendah.
Selain itu penggunaan kosmetika yang berlebihan juga dapat mengundang efek-efek kurang baik. Secara sosial kemanusiaan, penggunaan kosmetika yang terlalu tebal justru dapat mengubah makna kosmetika itu sendiri. Bahkan tidak jarang hal itu menjadi bahan tertawaan dan cibiran bibir rang jika tidak pantas lagi buat seseorang. Oleh karena itu dalam menggunakan kosmetika andapun harus berkaca pada batas-batas kewajaran dan norma yang berlaku, jangan hanya berlandaskan tujuan yang tidak jelas.
Di luar fungsi dan tujuan penggunaan kosmetika, hal yang tidak kalah penting adalah bahan baku kosmetika itu sendiri. Benarkah bahan-bahan tersebut berasal dari sesuatu yang halal? Jangan-jangan apa yang dipakai untuk wajah atau kulit itu berasal dari unsur haram atau najis. Kalau sampai terjadi maka bahan haram itu akan menodai diri kita, sehingga tidak dapat bersuci secara sempurna ketika hendak beribadah.
Kemungkinan masuknya bahan haram ini cukup terbuka. Lemak, organ tubuh, atau plasenta adalah salah satu komponen yang mungkin digunakan dalam banyak produk kosmetik. Jika anda menggunakan lipstik untuk memerahkan bibir, maka di dalamnya pasti mengandung unsur lemak sebagai bahan baku. Nah, apakah lemak, organ tubuh atau plasenta itu berasal dari yang halal, ataukah berasal dari lemak babi? Itulah yang perlu dikaji lebih lanjut.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Bahan-bahan apa saja yang tidak halal yang mungkin digunakan untuk kosmetika?
2.      Bagaimana hukum penggunaan organ tubuh, plasenta untuk kosmetika menurut pandangan Islam?
C.     Tujuan Pembahasan
Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui bahan-bahan apa saja yang tidak halal yang mungkin digunakan untuk kosmetika;
2.      Untuk mengetahui bagaimana hukum penggunaan organ tubuh, plasenta untuk kosmetika menurut pandangan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Kosmetika
Tampil menarik dan prima adalah dambaan setiap insan. Untuk itu banyak yang menggunakan berbagai cara guna mengubah dan memperbaiki penampilan. Salah satu yang menjadi pilihan adalah kosmetika.
Sejarah kosmetika hampir seiring dengan sejarah peradaban manusia. Orang-orang Mesir Kuno telah mengenal berbagai ramuan untuk membuat kulit halus dan awet muda. Demikian juga dengan budaya Cina yang mengenal berbagai bahan alam yang dapat mempercantik dan memperindah wajah. Di Indonesia sendiri masing-masing suku juga memiliki cara dan ramuan khas untuk memperbaiki wajah, kulit dan tubuh manusia. Kita mengenal lulur, ramuan tradisional dan kosmetika alami di berbagai daerah.
Menggunakan kosmetika untuk memperbaiki diri dan fisik seseorang adalah sah-sah saja. Itu adalah suatu kewajaran, asal dilakukan secara wajar dan menggunakan bahan-bahan yang halal. Dalam Islam pun kita disunnahkan menggunakan wewangian ketika hendak pergi ke masjid. Ada pula sunnah untuk menggunakan celak pada kelopak mata. Tetapi penggunaan kosmetika untuk tujuan-tujuan di luar kewajaran dapat dikategorikan tabarruj yang dilarang agama. Misalnya dengan mengubah bentuk dasar wajah untuk tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Mencukur alis dan menggantinya dengan pensil adalah salah satu bentuk pengubahan wujud asli wajah manusia yang sebaiknya tidak dilakukan.
Bahan-bahan yang berpeluang berasal dari hewan merupakan jenis bahan yang perlu diwaspadai dalam memilih kosmetika. Jika kosmetika yang mengandung bahan hewani yang tidak halal, maka penggunaan luar menyebabkannya menjadi tergolong bahan najis, sedangkan jika penggunaan kosmetika ini secara oral maka bahan tersebut menjadi haram.
Bahan-bahan turunan lemak merupakan bahan yang sangat umum digunakan dalam kosmetika untuk berbagai tujuan. Asal-usul lemak yang digunakan harus menjadi perhatian karena mungkin berasal dari tumbuhan dan berpeluang berasal dari hewan. Contoh bahan turunan lemak yang sering ditemukan adalah gliserin dan asam-asam lemak.
Selain dalam bentuk turunannya, lemak juga digunakan dalam pembuatan sabun. Bahkan lemak hewan yang berasal dari sapi atau kambing yang dikenal dengan istilah tallow serta lemak babi yang dikenal dengan istilah lard masih digunakan oleh beberapa produsen untuk membuat sabun.
Saat ini banyak juga konsumen yang menggunakan jenis-jenis asam amino tertentu dalam produknya untuk memberikan efek tertentu bagi kecantikan. Sumber asam-asam amino ini tentunya perlu dicermati kehalalan sumber asalnya.
Bahan hewani yang saat ini sangat populer digunakan dalam kosmetika dengan tujuan utama mencegah keriput sehingga dapat mencegah penuaan dini adalah kolagen, elastin dan plasenta. Ketiganya dapat ditemukan sebagai bahan kosmetika kulit maupun yang dikonsumsi secara oral. Kolagen dan elastin merupakan jaringan ikat kulit, otot dan tulang, yang tentunya berasal dari hewan. Sumbernya bisa berasal dari hewan apa saja, sehingga kehalalannya perlu dipertanyakan.
Kolagen merupakan suatu bentuk produk protein yang merupakan serat jaringan ikat antar sel yang memberikan ketegangan dan elastisitas pada kulit. Perubahan kontur akibat berkurangnya komposisi pada kondisi tertentu (penuaan dan lain-lain). Penggunaan kolagen memberikan hasil yang baik pada kerutan-kerutan diwajah akibat penuaan. Kolagen sendiri dalam kosmetikologi dapat digunakan secara implant maupun secara topical (dioleskan dalam bentuk krim). Penggunaan secara implan akan habis dan perlu diulang dalam waktu 3 bulan. Namun secara sifat dan cara kerja, penggunaan implant kolagen ini hanya untuk rejuvenasi kulit (mengatasi kerutan, bukan untuk augmentasi (mempertinggi organ tertentu). Dalam produk kosmetika, kolagen juga mempunyai efek melembabkan karena bersifat tidak larut air bahkan mampu menahan air. Bahan ini dapat berasal dari babi maupun sapi (bovine collagen, zyderm). Namun, bagi produsen kosmetika penggunaan kolagen yang berasal dari babi lebih disukai, karena selain ekonomis, perkembangan babi transgenik yang memiliki jaringan sel mirip sel tubuh manusia kian maju sehingga efikasi yang diberikan akan lebih baik.
Kesulitan konsumen muslim dan muslimah dalam mengidentifikasi apakah suatu produk mengandung bahan-bahan yang diharamkan atau tidak karena komposisi (ingredient) yang dicantumkan produsen kosmetik seutuhnya menggunakan istilah-istilah yang tidak dimengerti oleh konsumen. Cara aman yang dapat dilakukan adalah dengan hanya membeli produk-produk yang telah jelas-jelas mencantumkan label halal dari LPPOM MUI atau dengan merujuk langsung pada daftar produk halal dari Jurnal Halal LPPOM MUI.
B.     Organ Tubuh untuk Kosmetika
Akhir-akhir ini penggunaan bahan-bahan yang diduga haram semakin meningkat. Misalnya kolagen dan plasenta. Kolagen banyak dipakai di berbagai produk kosmetik karena konon dapat mengencangkan kulit dan memperbaiki penampilan wajah. Tahukah anda dari mana kolagen berasal? Bahan ini diekstrak dari protein hewani, yang mungkin dari sapi, ikan, atau mungkin juga dari babi.
Al-Allamah Ibn Manzhur berkata al-Juz berarti sebagian. Bentuk jamaknya adalah Ajza. Dalam al-Muam al-Wasith dikatakan, al-Juz berarti bagian dari sesuatu. Ia adalah sebuah bagian yang dijadikan untuk menyusun sesuatu bersama bagian yang lain.[1]
Sedangkan al-Jism menurut Ibn Mansur, adalah kumpulan badan atau anggota-anggota tubuh pada manusia, unta, hewan-hewan melata, dan jenis-jenis makhluk lainnya. Jamaknya adalah Ajsam dan Jusum.  Ibn Mansur menambahkan, adapun al-Basyari dinisbatkan kepada lafal al-Basyar yang berarti manusia. Bentuk ini lanjutnya lagi, berlaku untuk pola tunggal dan jamak, serta untuk pola mudzakkar (laki-laki) dan muannats (perempuan). Terkadang dibuat menjadi pola musanna (dua orang) dan terkadang dijamakkan menjadi Absyar.[2]
Kata Juz’ al-Jism al-Basyari (organ tubuh manusia) sebagaimana yang dikutip oleh Musttafa Yaqub dari Ibn Manzur, adalah setiap potongan atau bagian yang terpisah dari tubuh manusia atau jasadnya, baik laki-laki maupun perempuan, muslim atau kafir, dan terpisahnya organ itu, baik ketika manusia itu masih hidup, maupun sesudah meninggal dunia.[3] Bahkan sebagian orang berpendapat bahwa beberapa organ tubuh manusia dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pangan, obat, dan kosmetika serta keperluan tertentu, seperti adonan roti, dan lain sebagainya.
Ari-ari atau dalam istilah medis dikenal dengan plasenta adalah organ yang terdapat di dalam rahim yang terbentuk sementara saat terjadi kehamilan. Organ ini berbentuk seperti piringan dengan tebal sekitar satu inci, diameter kurang lebih tujuh inci, dan memiliki berat pada kehamilan cukup bulan, rata-rata 1/6 berat janin atau sekitar 500 gram.
Sedangkan plasenta merupakan bahan yang diambil dari plasenta (cadangan makanan bagi bayi), baik dari plasenta hewan maupun plasenta manusia. Sebagai bahan yang kaya nutrisi plasenta memang terbukti mampu memberikan gizi bagi kulit, sehingga memiliki efek encegah penuaan dan menjaga kesegaran kulit.
Kini banyak produk kosmetika yang menggunakan bahan-bahan terlarang itu. Para produsennya menawarkan janji kebugaran, kecantikan dan awet muda, hal-hal yang sangat disukai kaum wanita. Oleh karena itu masyarakat berbondong-bondong membeli, meskipun dengan harga yang cukup mahal. Sudah saatnya konsumen muslim mencermati hal itu, jangan hanya tergiur dengan khasiat dan janji yang muluk-muluk, tetapi perhatikan juga aspek kehalalannya. Kecantikan tubuh dapat pudar setiap saat. Penuaan kulit juga merupakan sebuah keniscayaan yang akan dialami semua orang. Tetapi kecantikan akhlak dan budi pekerti jauh lebih abadi ketimbang sekedar kecantikan semu yang diberikan kosmetika, apalagi jika berasal dari bahan-bahan yang tidak halal. 
Plasenta atau ari-ari memiliki fungsi utama untuk mengusahakan janin tumbuh dengan baik. Hal itu terjadi melalui pemenuhan nutrisi yang berupa asam amino, vitamin, mineral maupun hasil pemecahan karbohidrat dan lemak yang diasup dari ibu ke janin. Sebaliknya, zat hasil metabolisme dikeluarkan dari janin ke darah ibu yang juga melalui plasenta. Plasenta juga berfungsi sebagai alat respirasi yang memberi zat asam dan mengeluarkan karbondioksida. Selain itu, plasenta merupakan hormon, khususnya hormon korionik gonadotropin, korionik samato, mammotropin (plasenta lactogen), estrogen maupun progesteron serta hormon lainnya yang masih dalam penelitian.
Di beberapa tempat di dunia ini dijumpai adanya kebiasaan dari masyarakat setempat yang memanfaatkan air kencing manusia untuk pengobatan terhadap suatu penyakit. Di India misalnya urine telah dianggap sebagai obat universal selama lebih dari 5.000 tahun. Di Eropa yang lebih dikenal dengan istilah ‘terapi urine‘.
Gennady Malakhov, terkenal sebagai penganut terapi urine di Rusia, mengatakan bahwa kita harus menggunakan sejumlah air seni hampir setiap hari yang baik untuk pemulihan kesehatan. Dia menawarkan untuk minum air kencing dan menggunakannya untuk rubdowns dan enemas. Para pengguna terapi ini, mengatakan bahwa hal ini dapat menjadi obat mujarab dalam perawatan usus, ginjal dan penyakit hati.
Dengan demikian air kencing manusia tidak boleh digunakan untuk pengobatan suatu penyakit baik dengan cara diminum atau dioleskan kecuali pernyataan dokter muslim yang bisa dipercaya atau ketika tidak ada lagi obat yang suci yang bisa dipakai untuk mengobati penyakit tersebut, sebagaimana disebutkan oleh al ‘Izz Abdus Salam,”Diperbolehkan pengobatan dengan menggunakan sesuatu yang najis apabila tidak ada lagi obat yang suci untuk mengobatinya. Hal itu dikarenakan kemaslahatan kesehatan dan keselamatan lebih diutamakan daripada kemaslahatan menjauhi sesuatu yang diharamkan.[4]
C.       Hukum Penggunaan Organ Tubuh untuk Kosmetika menurut Islam
Menurut Dr. H. Abdullah Salim, M.A, berdasarkan keputusan Fatwa Munas VI MUI Nomor: 2/Munas VI/MUI/2000, tanggal 30 Juli 2000, tentang pengggunaan organ tubuh, ari-ari dan air seni bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika adalah haram.
Kebijakan tersebut sesuai dengan Firman Allah Swt. dalam surat al-Maidah ayat 3 :
ôÇ`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøƒxC uŽöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b}   ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§
“... Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Maidah : 3).[5]
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan penggunaan obat adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, bukan menggunakan obat pada bagian luar. Dengan menyadari seperti itu, maka penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram. Termasuk penggunaan air seni manusia untuk pengobatan, serta kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya juga haram.
Berbagai kemungkinan penggunaan bahan haram dan najis dalam kosmetika tentunya harus menggugah kesadaran umat Islam untuk lebih teliti dalam memilih produk yang akan digunakannya. Jangan sampai niat untuk tampil cantik malah menjerumuskan diri kepada hal-hal yang tidak dirihai oleh Allah SWT.
Untuk mengetahui boleh tidaknya penggunaan plasenta dalam pengobatan ini, alangkah baiknya kita lihat lebih jauh dalam Keputusan Fatwa MUI No.2/MunasVI/MUI/2000, yaitu sebagai berikut :
a.        Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1)               Penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh; Penggunaan air seni adalah meminumnya sebagai obat.
2)               Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan tubuh atau kulit agar tetap atau menjadi baik dan indah.
3)               Dharurat adalah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan maka dapat mengancam eksistensi jiwa manusia.
b.        Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia (juz’ul-insan) hukumnya adalah haram.
c.        Penggunaan air seni manusia untuk pengobatan, seperti disebut pada butir a. 2) hukumnya adalah haram.
d.        Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram.
e.        Hal-hal tersebut pada butir b, c, dan d di atas boleh dilakukan dalam keadaan dharurat syari'ah.[6]
Keharaman memanfaatkan barang najis ini sesuai dengan pendapat sebagian ulama yang menjelaskan :
قال الزّهريّ لايحلّ شرب بول الناس لشدّة تنزل لانه رجس قال الله تعال (أحل لكم الطيبت. المائدة) وقال ابن مسعود فى السكر ان الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم. (رواه البخارى)
Imam Zuhri berkata, “Tidak halal meminum air seni manusia karena suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis, Allah berfirman: “…Dihalalkan bagi kamu yang baik-baik…” (QS. Al-Ma’idah [5]: 5}”; dan Ibnu Mas’ud (w.32) berkata tentang sakar (minuman keras), “Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu” (Riwayat Al-Bukhari).
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh :
الضرورات تبيح المحظورات
“Darurat itu membolehkan sesuatu yang dilarang.”
Akan tetapi, kebolehan memakai obat itu tentunya harus sesuai kebutuhan. Tidak boleh melebihi kadarnya. Artinya, jika penggunaan obat itu dihentikan si pasien sudah tidak lagi dalam keadaan dlorurot tadi. Hal ini mengingat kaidah bahwa “sesuatu yang dibolehkan karena dlorurot dikembalikan pada kadarnya (secukupnya).”
Para ulama mengatakan bahwa pengobatan dengan sesuatu yang najis tidak diperbolehkan kecuali darurat (terpaksa). Adapun ketika dalam keadaan banyak pilihan, banyak tersedia obat yang halal maka hal itu tidaklah dibolehkan.[7] Namun MUI dalam hal ini telah mempertegas akan keharaman menggunkan organ tubuh manusia sebagai obat-obatan. Dalam fatwa yang diputuskan pada tanggal 30 juli tahun 2000 tersebut mengatakan, bahwa segala macam bentuk obat-obatan yang terbuat dari organ tubuh manusia hukumnya haram.[8] 



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Menggunakan plasenta (ari-ari) untuk bahan kosmetik atau untuk mengobati suatu penyakit hukumya adalah haram.
2.      Apabila kebutuhan akan plasenta itu sifatnya sangat darurat maka boleh digunakan sesuai dengan kadarnya.
3.      Penetapan hukum tersebut berdasarkan pada ketentuan Al-Qur’an, Hadits, dan Kaidah fiqh sesuai yang telah dijelaskann di atas.
B.     Saran
1.      Dalam memilih dan menggunakan kosmetika, hendaklah berhati-hati dalam hal halal haramnya bahan pembuat kosmetika tersebut;
2.      Jika kita tidak memahami istilah-istilah untuk bahan-bahan pembuat kosmetika, sebaiknya dikonsultasikan dengan para ahlinya;
3.      Menggunakan kosmetik yang mengandung bahan yang haram, berarti kegiatan ibadah kita juga menjadi tidak afdol. Sehingga sebaiknya gunakanlah kosmetik yang menggunakan bahan-bahan yang diperbolehkan oleh syara’.


DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah. (tt). Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz IV. Maktabah Syamilah.
Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Majlis Ulama Indonesia. (2002). Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia. Jakarta : Majlis Ulama Indonesia.
Yaqub, Ali Mustafa. (2009). Kriteria Halal Haram. Terj. Cet. Ke-1. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus.



[1] Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, Terj.  (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2009), Cet. Ke-1, hal. 161.
[2] Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram, Terj.  (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2009), Cet. Ke-1, hal. 161.
[3] Ibid., hal. 164.
[4] Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Islami wa AdillatuhuJuz. IV, (Maktabah Syamilah), hal. 2610
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,  1989), hal. 157.
[6] Keputusan Majelis Fatwa MUI No.2/Munas VI/MUI/2000.
[7] Lihat Fatawa Al-Azhar, Maktabah Syamilah,  Juz. XI, hal. 109.
[8] Keputusan Fatwa Musyawarah Nasional VI MUI No : 2/MUNAS VI/MUI/2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tulis komentar Anda